KH. Imam Zarkasyi merobek syahadah (ijazah) seorang alumnus yang akan pergi ke luar negeri karena ternyata ia membawa pulang ke rumahnya buku-buku penting milik pondok.
“Kau pencuri!” ucap beliau dengan nada marah di hadapan santri alumni tersebut.
Begitulah Adab Pak Zar, sapaan akrab beliau, salah satu Trimurti Pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo ketika melihat ada anak didiknya yang beprilaku ghairu mu’addab. Sikap tegas itu langsung ditunjukkan sebagai bentuk pendidikan kepada santri-santrinya.
Kita mengenal beliau sebagai salah satu pengarang kitab pembelajaran Bahasa Arab, Durusu Lughoh, yang menjadi banyak pegangan santri dalam memulai mempelajari Bahasa Arab secara praktis.
Semua alumni yang pernah diajar oleh beliau tentu akan mengenal ucapan beliau terutama dalam urusan politik seperti yang sering diucapkannya, “Politik saya adalah pendidikan.” Maka tidak ada yang meragukan totalitas beliau dalam mendidik dilakukan sepenuhnya dengan penuh tanggung jawab dan kewibawaan.
Suatu ketika beliau ditanya satu pertanyaan, “Sistem pendidikan apa yang cocok untuk umat Islam Indonesia?” Maka beliau akan menjawab dengan mantap, “Sistem pendidikan pondok.”
Seorang alumni yang pernah diajar beliau langsung menceritakan ketika sedang menempuh studi di Universitas Islam Madinah, ia kemudian sowan kepada Pak Zar. Di saat itulah Pak Zar tahu kalau alumni tersebut di Madinah akrab dengan seorang ulama kenamaan, yaitu Syaikh Muhammad Al-Majdzoub.
“Apa yang kamu lakukan saat berada di rumah Syaikh Majdzoub?” Tanya Pak Zar.
“Saya sering mengetikkan karya-karya beliau,” jawab alumni tersebut.
Mendengar jawaban itu, Pak Zar langsung menasehatinya. “Kalau perlu (kamu) bawakan sandalnya.”
Begitulah Pak Zar mengajarkan sikap-sikap terbaik bagi santrinya di manapun mereka berada, apalagi kalau soal memuliakan guru. Beliau menekankan Adab yang benar kepada mereka.


Yang paling menonjol dari beliau adalah suasana Keikhlasan. Beliau pernah memberi wasiat kepada salah satu muridnya, Ustadz Hulaimi Hatami.
Wasiat yang tidak pernah saya lupakan hingga sekarang, kata Ustadz Hulaimi, adalah kata-kata beliau, “Kalau ingin menjadi orang yang berwibawa tidak usah berusaha menjadi orang yang berwibawa. Tetapi, seseorang itu bisa menjadi berwibawa kalau bertindak jujur dan berbuat lillah. Dia tidak berbuat sesuatu karena didorong oleh manusia, atau ingin mendapat pengakuan dari mereka. Jika berbuat semata-mata ingin mendapat ridha Allah, pasti kamu berwibawa.”
Betapa wasiat yang diterimanya itu langsung menghujam ke dalam relung jiwanya dan penuh dengan suasana keikhlasan yang kuat.
Dinasehatinya lagi ia, “Kalau kamu tahu, katakanlah tahu. Tapi, kalau tidak tahu, jangan pura-pura tahu.”
Seorang santri beliau lagi yang lain adalah Ustadz Sugijanto, mengatakan ketika suatu waktu ia dinasehati Pak Zar, “Hei Giyanto! Jika kamu berbuat kebaikan, janganlah lepas dari niat yang ikhlas. Sebab pekerjaan yang dilakukan dengan niat ikhlas akan membawa manfaat yang besar.”
Untuk dikerahui, Ustadz Sugijanto inilah yang membantu Pak Zar dalam menyusun buku Ushuluddin yang jadi pegangan santri hingga sekarang di Pondok Gontor. Saya akan tuliskan kisahnya di sini ketika ia membantu Pak Zar menyusun buku Ushuluddin pegangan santri Gontor sebagaimana yang beliau ceritakan dalam buku KH Imam Zarkasyi di Mata Umat (1996).
“Setiap jam sembilan malam, saya dipanggil beliau di tempat kediamannya untuk didikte di atas kertas buram. Hal ini dilakukan hampir tiap malam, hingga kurang lebih jam setengah dua belas malam. Kemudian tulisan tangan saya di atas kertas buram itu keesokan harinya saya pindah ke kertas lain dengan bentuk tulisan ketik. Pada malam hari lainnya saya pindahkan ke kertas lain dengan tulisan ketik. Berikutnya, tulisan ketik ini saya bacakan pada beliau, dan beliau langsung memberikan koreksi di sana-sini, seperlunya.
Setelah selesai membacakan konsep dan setelah beliau memberikan pembetulan atau penyempurnaan, maka beliau melanjutkan mendikte saya, seperti beliau lakukan pada malam sebelumnya. Siang harinya saya masih berkewajiban mengetik sesuai konsep yang sudah diperbaiki atau disempurnakan.
Kegiatan rutin semacam ini saya lakukan sehingga selesailah penyusunan buku Ushuluddin sampai naik cetak.”
Itu sepenggal kisah di balik penyusunan buku Ushuluddin yang diceritakan Ustadz Sugijanto. Dalam kesempatan pekerjaan itu Pak Zar menasehati Ustadz Sugijanto,
“Giyanto! Jika kamu nanti menjadi pengarang atau penulis buku, menulislah dengan niat yang ikhlas. Sebab menulis buku dengan didasari niat ikhlas itu akan besar manfaatnya, dan bukunya akan dibaca banyak orang.”
Pendidikan langsung yang diberikan KH Imam Zarkasyi memang membekas dalam diri Ustad Sugijanto.
Jika santri diberi tugas, kata Ustad Sugijanto, maka ia akan dekat dengan Pak Zar, dan kalau sudah dekat justru biasanya akan sering mendapat marah dari beliau. Tentu marah dalam arti mendidik.
Seluruh totalitas pendidikan dengan suasana batin penuh keikhlasan inilah yang terus menerus ditanamkan KH Imam Zarkasyi kepada santri-santrinya dengan pendekatan yang beraneka ragam dalam bentuk praktik langsung, bukan hanya sekadar omongan di dalam kelas.
Ustadz Hulaimi seperti yang sayang ceritakan sebelumnya di atas mulai nyantri di Gontor ketika usia sudah 21 tahun. Padahal ia sudah mondok di berbagai pesantren di Tasikmalaya seperti Singaparna dan Cipasung sejak usia 13 tahun.
Perhatikan pesan keikhlasan yang menohok jiwanya lagi ketika sudah alumni:
“Setiap orang yang ada di depan kita harus dianggap guru kita. Dengan sikap semacam ini, maka kalau ada ilmu dari mana saja datangnya akan bisa masuk ke dalam diri kita. Ada pun jika nanti kita mempunyai kelebihan dari dia, itu akan menambah kepercayaan terhadap diri kita.”
“Yang akan dibaca oleh masyarakat adalah kemampuanmu. Baik kemampuan berbicara, bekerja, atau yang lain. Kalau kemampuan itu sudah menonjol, maka tidak penting lagi apa itu syahadah (ijazah) dan lain-lain.”
Maka suatu ketika Pak Zarkasyi ditanya oleh seorang tamu, siapa sajakah para alumni Gontor yang sukses dan berhasil menjadi orang besar di masyarakat? Beliau menjawab, “Orang besar bagi kami adalah orang yang mengajarkan Agama di desa terpencil, di surau kecil, dengan niat beribadah kepada Allah. Itu lebih besar daripada seorang pembesar di kota, yang keadaannya hanya akan merugikan rakyat.”
Semoga seluruh amal bakti beliau menjadi jariyah dan bermanfaat bagi kita semua siapa saja yang mendapatkan secercah sentuhan Adabnya, baik langsung maupun tidak langsung. Al-Faatihah.